Jumat, 18 Juli 2014

Posted by Unknown |
Senja.
Mengapa aku begitu mengaguminya tanpa syarat?
Mengapa aku terlalu tertarik untuk melihat warnanya dari bilik sudut bangku tuaku ini?
Mengapa kemudian ada rasa nyaman ketika aku bisa melihatnya pergi begitu saja dengan keindahan pancarannya?
Mengapa kembali aku bisa mengaguminya tanpa aku harus bisa membencinya, padahal kau tau dia akan pergi begitu saja bersama malam?
Mengapa aku selalu meluangkan waktuku untuk melihatnya lagi di esok hari tanpa meminta apapun darinya?
Mengapa aku selalu terlihat bodoh di hadapannya, padahal kau tau ia pun tak dapat berbicara banyak padaku mengenai waktu?
Mengapa ia begitu tercipta sempurna oleh si peracik?
Mengapa ia hilang namun berjanji akan datang esok hari demiku?
Mengapa aku selalu mempercayainya, padahal bisa saja besok ia telah tenggelam bersama badai dan hujan?
Mengapa aku seperti orang yang paling bodoh untuk menunggu kepastian dari ketidakpastiannya?
Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Selalu kata mengapa yang terlontar ketika aku diam sembari melihatnya pergi yang terbias dibalik mataku
Entah.
Aku pun bingung,
aku hanya tahu bahwa si peracik akan selalu sediakan senja yang baru untukku
untukku.. ya untukku..
untuk ku pandangi, untuk ku miliki, untuk ku kagumi kembali

walau aku tahu si peracik akan tetap memberikan senja yang sama seperti hari kemarin
namun, aku tetap merasa itu semua berbeda.
Mungkin kau akan mengatakan hal yang sama dengan mereka
“dia tidak berubah, senja”
Bagi ku tidak! Ia selalu berubah setiap harinya,
Warnanya, pancarannya, lokasi dimana aku mendapatkannya, dan
Suasananya..

Biar mereka berkata apa tentangku dikala menjelang senja
Namun, aku hanya percaya waktu atas si peracik
Aku percaya ia akan memberikan yang terbaik untukku,
yang selalu menunggu senja.

untukmu,
yang tenggelam dalam keambiguan senja

dari orang yang mengagumimu,mas





Rabu, 18 Juni 2014

Posted by Unknown |



Sore itu, aku terdiam bersama bangku senja. Bangku dimana biasa aku mengilas kenangan dengan melihat senja yang kemudian pergi tanpa pernah ku meminta.

Sembari melihatnya pergi, perlahan otakku bekerja, ia kembali mengingatkanku pada tujuh tahun yang lalu. Kembali mengulas memori yang pernah ku simpan rapat rapat dalam selimutku,selimut otakku.
Memori yang tak pernah bisa kulupakan dalam bingkai kehidupan. Memori yang selalu tersimpan, terjaga dan tertutup rapat dalam jendela mataku.
Di balik tepisan cahaya senja yang membentuk bayanganku, kembali aku tersenyum mengingat memori itu.
Tujuh tahun lalu, kita masih sering bersama.
Tujuh tahun lalu, kita masih melukis kenangan untuk hari ini, untuk detik ini.
Tujuh tahun lalu, kita masih duduk di bangku kelas yang penuh dengan kebahagiaan tanpa beban.
Dan Tujuh tahun lalu, aku mengenalmu.

Ku teringat, dimana kita menikmati kebersamaan dengan ceria. Canda dan tawa pun seolah mewarnai hari kita yang bermakna. Kita berjalan, kita menggenggam, kita merasakan.  
Kini, kembali aku menyadari. Mengapa tujuh tahun lalu kita rela berdebat untuk ini?
Ternyata, kertas dengan sejuta warna tinta yang pernah kita lukiskan bersama, membawa makna hari ini, membawa cinta hari ini, dan membawa kenangan untuk kita, hari ini.

Kini, kembali aku menyadari.Mengapa tujuh tahun lalu kita rela meluangkan waktu bersama tanpa peduli orang berkata apa tentang kita. Ternyata, ini jawabannya. Kita sadar bahwa kita akan berpisah, tanpa pernah tau kapan waktu akan mengulang kembali kisah kita. tanpa pernah tau kapan lagi kita menciptakan mimpi bersama . tanpa pernah tau kapan lagi kita akan saling menggenggam dalam kehangatan cinta.. Cinta seorang sahabat.

Beribu senyum perlahan terlintas dalam keheningan. Aku masih bersama bangku senja. Aku masih melukis memori indah di masa lalu. Memori yang tak terasa, pergi meninggalkan segala senyuman dibalik kita. Aku ingin memeluknya, mengambilnya kembali untukku sekarang, dan menggenggamnya bersama.

Senja sudah tak terlihat, aku kembali sadar, aku harus pulang. Dan merelakan rindu akan memori kita terhempas begitu saja tanpa ku tahu harus membawanya kemana. Aku hanya bisa menulis dalam buku sejarahku, jika kamu pernah bermakna dalam kehidupanku, jika kamu pernah menjadi kisahku dan akan selalu menjadi sahabatku, selamanya

Puisi ini ku persembahkan untuk sahabatku yang sudah setia bersamaku, Risma Lestari dan Clara Widya. Terimakasih, sahabat.


Jumat, 28 Februari 2014

Posted by Unknown |

Mimpi. 
Aku gadis dua puluh tahun yang masih sangat jauh dari kata "makmur" untuk kehidupanku sendiri.
Aku masih duduk di bangku kuliah dan 'belum' bisa membahagiakan kedua orangtuaku diumurku yang sudah patut untuk dikatakan 'dewasa' 
Aku terlalu nyaman dengan kehidupan yang 'sudah ada' dan susah untuk 'move on' ke kehidupan yang kedepannya nantipun aku tidak bisa memprediksikannya. 

Aku terlalu menikmatinya hingga aku terkadang lupa akan mimpiku sendiri. 
Ya, mimpiku untuk berada di layar televisi. Di lihat oleh orang banyak. Menyampaikan sebuah berita secara live. Menyapa seluruh penduduk Indonesia dengan caraku sendiri hingga menyapa 'kamu' dari balik layar. 

Mengingat kata 'kamu'. Ah, aku jadi ingat kamu, Mas.

Semakin minder. 
Ah,benar! Aku terlalu banyak berharap. Aku terlalu sederhana mengartikan kata 'kamu' dalam benakku. Aku bisa apa untuk milikimu yang begitu sempurna dimataku. 
Hanya satu kurangmu, kau tak memiliki "perangko" dalam amplopmu. Malang, mas. Pria sesempurnamu harus tersia-siakan. Aku pun rela untuk dijadikan ampas dalam pilihan hatimu nanti. Sungguh, aku terlalu murah. Ya, aku cinta mas. Cinta.

Arrrgghh... 
Mengapa kita harus bersahabat selama tujuh tahun ini? Mengapa Tuhan meletakkanmu dalam posisi yang begitu menyulitkanku? Nyatanya selama ini pun aku ternyata hanya di anggap "adik kecil yang bisa kau mainkan sesukamu" ya kan,Mas? 

Kau tak memiliki perasaan yang sama sepertiku, kau tak mencintaiku, kau tak menyayangiku, kau tak pedulikanku, kau..aarrgghh!!! 

Aku yang bodoh,Mas. Maaf, aku yang terlalu mengartikan pelukanmu sebagai pelukan tulus. Maaf,Mas. Aku salah. Bukan aku wanita itu. Akan baik jika ku akhiri hubungan persahabatan yang terjalin sudah bertahun-tahun ini menjadi sebuah hubungan biasa yang kemudian lama kelamaan akan menjadi hambar dengan sendirinya. 

Aku mundur,Mas. 
Aku nggak sanggup jika harus menahan rasa ini. 
Aku cemburu. 
Aku marah. 
Aku kesal. 
Aku benci. 
Aku lelah. 

Aku..

Aku...

Aku mencintaimu,Mas...


Bisakah kau geserkan sedikit spion didepanmu untuk melihatku dibelakang, sedikit saja. Aku ingin kau rasakan ini,Mas. Mataku tak pernah bohong untukmu, aku jujur. 

Pelukan dan ciuman hangatmu itu tak dapat membohongi perasaanku, jika kau juga sebenarnya menyimpan sedikit butiran hati untukku, dulu. Sekarang, aku tidak bisa merasakannya lagi,Mas. Beda. Ya, mungkin kau sudah menemukan yang tepat. 

Jika Tuhan memberikan aku umur sekali lagi, aku tak akan pernah berharap ingin bertemu mu lagi. Tetapi jika Tuhan memberikanku kesempatan untuk merawatmu, melayanimu, mencintaimu seumur hidupmu, aku selalu siap. 

Dan, sekali lagi..
Aku tidak berharap itu terjadi. 
Kau berhak memilih yang terbaik bagimu.
Aku hanya sekeping kebahagiaan dalam benang kehidupanmu.
Ya, sebagian kecilnya dan bahkan 'akan hilang' dalam rajutan barumu, Mas. 



Terimakasih untuk kasih, kebahagiaan, cinta, sayang, kenangan, pelukan hangat dan senyuman yang sempat tersimpan dalam memoriku. 
Kamu pria yang berbeda dan kamu selalu tersimpan disini,Mas. 
Dihatiku...


Penulis, 
Dian (Nama sebenarnya ada di data penulis Bangku Senja)
Jakarta. 




Rabu, 12 Februari 2014

Posted by Unknown |
BAB 1 ( Sepucuk Teh di Tangkai Kehidupan) 

Jakarta, Mei 2000…


Cakrawala nampak cerah hari ini. Terlihat dari pancaran warna biru kelabu diatas sang mega. Di selimuti dengan suara desiran angin dan kicauan burung yang membuat hati tentram. Di bangku coklat keemasan itu, seorang pria tinggi nan tampan terlihat duduk manis seperti menunggu waktu. Matanya tetap saja memandang jam tangan yang selalu menghiasi tangannya. 
Tak ada alasan lagi baginya kali ini untuk pergi meninggalkan kota. Kota dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kota dimana dia menemukan bibit asmara dan kenangan terindah bersama orang yang paling membuatnya bahagia, JAKARTA.
Masa depannya telah tertutup, bukan disana tempat dia mengapai sang mentari, bukan pula disana tempat ia menuangkan ide-ide untuk meraih lukisan indah di atas kanvas polos dan bukan disana lagi ia mengakhiri labuhan dermaga hatinya.


- Sepenggal awal dari Novel DUA (Bab I)
- By: Yosephina Indah 

Selasa, 04 Februari 2014

Posted by Unknown |

Malam hari adalah moment yang paling tepat untukku mengulas kembali kejadian dan hal apa yang telah aku alami selama sehari. Ya, begini kegiatan yang sudah aku lakukan selama kurang lebih dua puluh tahun. 

Aku Marsih (nama samaran). Orang biasa memanggilku dengan singkatan "Mar" atau "Asih". Gadis muda tinggal di sudut desa Balong, Kulon Progo, Yogyakarta (tempat dibedakan). Sudah lama aku doyan menulis hingga bapakku selalu menginginkan setiap tulisan-tulisanku ini dibawa ke media cetak, tetapi aku selalu tak mau. Minder. Ya, sifatku memang seperti ini. Lugu. Aneh. Polos. Sederhana. Ah, aku selalu berbeda. 

Aku tertarik untuk bercerita di dalam surat sudut bangku senja. Menurutku, tulisan memang bisa merubah segalanya. Ya, apapun yang tersimpan dalam unek-unek kita diotak akan mudah tersalurkan dengan baik dalam sebuah tulisan "Jeda". Aku memberi namanya "Jeda". 

Aku hampir menjalankan hubungan status berpacaran dengan seorang pria di kota lain, yah kalau orang bilang ini namanya "cinta jarak jauh". Lama sih belum, hampir satu tahun umurnya tepat bulan depan kami akan merayakan "anniversary" itu. Bapak dan ibuku awalnya tidak mengerti aku sedang berdekatan dengan siapa, tetapi lama - lama mereka mengerti dan mulai bertanya sedikit demi sedikit tentang pasanganku. Aku menjawab dengan kejujuran yang memang apa adanya. Dengan tegas aku mendengar suara ibuku menolak dengan lantang: "Tidak nduk, kita sudah berbeda prinsip dengannya. Keyakinan dan adat pun berbeda. Ibu tidak!". Bapakku melanjutkan, "Lebih baik kamu pikir-pikir untuk keseriusannya. Anak gadis seperti kamu jangan menikah terlalu tua, cari pasangan jangan seumuran tetapi jauh lebih dewasa dari kamu biar bisa ngemong, ya syukur-syukur seiman, sesuku. Cuma itu cita-cita bapak ibu, Mar".

Aku terdiam. Lama. Merenung. 
Dalam alunan lagu malam ini, perlahan aku terbawa suasana dan mulai memejamkan mata sambil merenungkan nasibku.

...

"Mar, kamu nggak papa?" tanya seorang pria di depanku sambil mengusapkan tangannya di keningku
Aku terdiam sejenak sambil menyesuaikan diri dengan sekitarku. 
"Ah, aku dimana ini?" 
"Rumah sakit. Daritadi kamu mengigo menyebut namanya. Untunglah kamu sudah sadar. Sudah tiga minggu kamu koma, Mar" jelasnya padaku. 
"Kamu...." 
"Aku disini sayang menjagamu, ada apa dengannya? Kau merindukannya? Setelah kau sembuh, aku akan mengantarkanmu menemuinya" 
"Suamiku...." ucapku sambil mencoba memeluknya. 


Surat yang satu ini susah untuk dipahami tetapi ketika mencoba membacanya 
berkali-kali, aku jadi paham maksudnya. 
Marsih, kamu beruntung :') 

Minggu, 02 Februari 2014

Posted by Unknown |

Waktu. 
Aku pernah membencimu sekian tahun lamanya. Entah, menurutku kamu begitu menggerogoti seluruh 'isi pikiranku' termasuk hatiku. Hati yang kau 'diamkan' bertahun-tahun lalu lelah dengan sendirinya. 

Sejak aku mengikuti perlombaan waktu itu, tak membuat aku menyesal mengenalmu hingga detik ini. Jujur. Hingga kali ini pun aku masih tak menyangka Tuhan akan mempertemukan aku dan kamu sedini mungkin. Jika aku sadar, kamu terlampau jauh dariku. 

Lucu. Ya, hanya hal itu yang kemudian menjadi kenangan tersendiri dalam memoriku. Perkenalan yang bisa dikatakan begitu sederhana dan konyol. Aku mengetik sebuah pesan singkat kepadamu siang itu, aku mencari - cari hingga bertanya pada semua sudut tentangmu. Ketemu! Bergegas aku bergerak mencari handphoneku dan 'mulai mengajakmu berkenalan'. Sungguh, aku tak tahu malu. 

Kita tak pernah bertemu. Hanya aku yang pernah melihatmu, tetapi kau tidak. Ya, itupun terbayang samar - samar dalam ingatanku. Seingatku, terakhir aku melihatmu ketika kita sama-sama mengikuti lomba itu. Kau memenangkan perlombaan itu. Aku kembali kagum. 
Kagumku yang ku simpan selama ini, ku biarkan terpendam jauh dalam lubuk hatiku. Tak ku sampaikan padamu, tak berani ku katakan padamu. Aku mengaku tak pantas untukmu. Belum lagi di tambah umurku yang masih sangat belia, waktu itu. Minder? Jelas. Kau sempurna. 

Pernah kita mencoba bertemu dalam sudut ruang dan waktu yang tersetting dalam rencana kita berdua. Kenangan ketika kita pergi nonton bersama, makan, pergi ke warnet hanya untuk menemani mu nugas, hingga kegiatan lain yang sulit untuk ku ungkapkan. Terlalu banyak. Terlalu indah. Hingga suatu saat, kau menghilang tiba - tiba dalam kehidupanku. Bertahun - tahun lamanya. Aku menemukanmu ketika kau sudah memiliki wanita lain di hatimu. Aku turut bahagia kala itu. Aku pikir, aku yang akan menjadi terakhir ternyata bukan. Oh, mungkin Tuhan belum memberikan kita waktu yang tepat untuk bersama. Setelah bertahun - tahun aku mencarimu, yang ku temukan kau berbahagia dengannya. Aku ikhlas. Aku memutuskan untuk pergi. Ya, benar - benar pergi meninggalkanmu. Selamanya. 

....

2013.
Pagi itu aku terbangun dalam tidurku setelah semalaman aku mengetik cerita untuk novelku yang ketiga. Seperti biasa, pagi hari yang ku cari adalah handphoneku. Ku lihat ada direct message di twitterku. Itu kamu. 
*perbincangan pun berlanjut hingga akhirnya kamu meminta nomorku dan pin bbku*

Kau tak lagi bersamanya. Kau sendiri. Aku bahagia? Tidak. Karna aku memiliki yang lain. Kau datang disaat yang tidak tepat. Aku mulai menjauh darimu. Aku mulai menyadari kehadiranku tak lagi berarti di matamu. Mengapa kau datang kembali? Aku ingin melupakanmu jauh dari hatiku. Kau datang seolah memintaku untuk 'meladenimu' dan 'menjamahmu' layaknya raja diatas tahta. Aku tak bisa. Dia kekasihku juga, kau? Kau tak pernah ungkapkan rasa itu. Salahmu. Oh bukan, iya salahku. Maaf. 
Ini salah "persahabatan" kita yang sudah bertahun-tahun.

Hingga saat ini aku hanya bisa mengais harapan kecil diatas kepalsuan nafsu pikiranku tentangmu. Hubunganku mulai merenggang dengannya karna perbedaan yang tak direstui. Saat ini hanya kau yang memiliki persamaan denganku. Kita seadat, kita seiman bahkan kita 'bisa untuk bersama'.
Kala seperti ini kau tetap ada untukku. Kau tetap berada di sampingku. Menemaniku. Memberiku advice. Memberiku hati dan harapan. Mengapa kau lakukan ini kepadaku? Haruskahku meninggalkannya demimu? Apakah kau akan memilihku setelah semuanya aku tinggalkan? Aku tak tahu jawabannya.

Kau dan Tuhan 'kita' adalah JURU KUNCI-nya.  


From: 
Amel (nama disamarkan)

Cerita dari beberapa surat 
Sudut Bangku-Senja