Malam hari adalah moment yang paling tepat untukku mengulas kembali kejadian dan hal apa yang telah aku alami selama sehari. Ya, begini kegiatan yang sudah aku lakukan selama kurang lebih dua puluh tahun.
Aku Marsih (nama samaran). Orang biasa memanggilku dengan singkatan "Mar" atau "Asih". Gadis muda tinggal di sudut desa Balong, Kulon Progo, Yogyakarta (tempat dibedakan). Sudah lama aku doyan menulis hingga bapakku selalu menginginkan setiap tulisan-tulisanku ini dibawa ke media cetak, tetapi aku selalu tak mau. Minder. Ya, sifatku memang seperti ini. Lugu. Aneh. Polos. Sederhana. Ah, aku selalu berbeda.
Aku tertarik untuk bercerita di dalam surat sudut bangku senja. Menurutku, tulisan memang bisa merubah segalanya. Ya, apapun yang tersimpan dalam unek-unek kita diotak akan mudah tersalurkan dengan baik dalam sebuah tulisan "Jeda". Aku memberi namanya "Jeda".
Aku hampir menjalankan hubungan status berpacaran dengan seorang pria di kota lain, yah kalau orang bilang ini namanya "cinta jarak jauh". Lama sih belum, hampir satu tahun umurnya tepat bulan depan kami akan merayakan "anniversary" itu. Bapak dan ibuku awalnya tidak mengerti aku sedang berdekatan dengan siapa, tetapi lama - lama mereka mengerti dan mulai bertanya sedikit demi sedikit tentang pasanganku. Aku menjawab dengan kejujuran yang memang apa adanya. Dengan tegas aku mendengar suara ibuku menolak dengan lantang: "Tidak nduk, kita sudah berbeda prinsip dengannya. Keyakinan dan adat pun berbeda. Ibu tidak!". Bapakku melanjutkan, "Lebih baik kamu pikir-pikir untuk keseriusannya. Anak gadis seperti kamu jangan menikah terlalu tua, cari pasangan jangan seumuran tetapi jauh lebih dewasa dari kamu biar bisa ngemong, ya syukur-syukur seiman, sesuku. Cuma itu cita-cita bapak ibu, Mar".
Aku terdiam. Lama. Merenung.
Dalam alunan lagu malam ini, perlahan aku terbawa suasana dan mulai memejamkan mata sambil merenungkan nasibku.
...
"Mar, kamu nggak papa?" tanya seorang pria di depanku sambil mengusapkan tangannya di keningku
Aku terdiam sejenak sambil menyesuaikan diri dengan sekitarku.
"Ah, aku dimana ini?"
"Rumah sakit. Daritadi kamu mengigo menyebut namanya. Untunglah kamu sudah sadar. Sudah tiga minggu kamu koma, Mar" jelasnya padaku.
"Kamu...."
"Aku disini sayang menjagamu, ada apa dengannya? Kau merindukannya? Setelah kau sembuh, aku akan mengantarkanmu menemuinya"
"Suamiku...." ucapku sambil mencoba memeluknya.
Surat yang satu ini susah untuk dipahami tetapi ketika mencoba membacanya
berkali-kali, aku jadi paham maksudnya.
Marsih, kamu beruntung :')
0 komentar:
Posting Komentar