Mimpi.
Aku gadis dua puluh tahun yang masih sangat jauh dari kata "makmur" untuk kehidupanku sendiri.
Aku masih duduk di bangku kuliah dan 'belum' bisa membahagiakan kedua orangtuaku diumurku yang sudah patut untuk dikatakan 'dewasa'
Aku terlalu nyaman dengan kehidupan yang 'sudah ada' dan susah untuk 'move on' ke kehidupan yang kedepannya nantipun aku tidak bisa memprediksikannya.
Aku terlalu menikmatinya hingga aku terkadang lupa akan mimpiku sendiri.
Ya, mimpiku untuk berada di layar televisi. Di lihat oleh orang banyak. Menyampaikan sebuah berita secara live. Menyapa seluruh penduduk Indonesia dengan caraku sendiri hingga menyapa 'kamu' dari balik layar.
Mengingat kata 'kamu'. Ah, aku jadi ingat kamu, Mas.
Semakin minder.
Semakin minder.
Ah,benar! Aku terlalu banyak berharap. Aku terlalu sederhana mengartikan kata 'kamu' dalam benakku. Aku bisa apa untuk milikimu yang begitu sempurna dimataku.
Hanya satu kurangmu, kau tak memiliki "perangko" dalam amplopmu. Malang, mas. Pria sesempurnamu harus tersia-siakan. Aku pun rela untuk dijadikan ampas dalam pilihan hatimu nanti. Sungguh, aku terlalu murah. Ya, aku cinta mas. Cinta.
Arrrgghh...
Mengapa kita harus bersahabat selama tujuh tahun ini? Mengapa Tuhan meletakkanmu dalam posisi yang begitu menyulitkanku? Nyatanya selama ini pun aku ternyata hanya di anggap "adik kecil yang bisa kau mainkan sesukamu" ya kan,Mas?
Kau tak memiliki perasaan yang sama sepertiku, kau tak mencintaiku, kau tak menyayangiku, kau tak pedulikanku, kau..aarrgghh!!!
Aku yang bodoh,Mas. Maaf, aku yang terlalu mengartikan pelukanmu sebagai pelukan tulus. Maaf,Mas. Aku salah. Bukan aku wanita itu. Akan baik jika ku akhiri hubungan persahabatan yang terjalin sudah bertahun-tahun ini menjadi sebuah hubungan biasa yang kemudian lama kelamaan akan menjadi hambar dengan sendirinya.
Aku mundur,Mas.
Aku nggak sanggup jika harus menahan rasa ini.
Aku cemburu.
Aku marah.
Aku kesal.
Aku benci.
Aku lelah.
Aku..
Aku...
Aku mencintaimu,Mas...
Bisakah kau geserkan sedikit spion didepanmu untuk melihatku dibelakang, sedikit saja. Aku ingin kau rasakan ini,Mas. Mataku tak pernah bohong untukmu, aku jujur.
Pelukan dan ciuman hangatmu itu tak dapat membohongi perasaanku, jika kau juga sebenarnya menyimpan sedikit butiran hati untukku, dulu. Sekarang, aku tidak bisa merasakannya lagi,Mas. Beda. Ya, mungkin kau sudah menemukan yang tepat.
Jika Tuhan memberikan aku umur sekali lagi, aku tak akan pernah berharap ingin bertemu mu lagi. Tetapi jika Tuhan memberikanku kesempatan untuk merawatmu, melayanimu, mencintaimu seumur hidupmu, aku selalu siap.
Dan, sekali lagi..
Aku tidak berharap itu terjadi.
Kau berhak memilih yang terbaik bagimu.
Aku hanya sekeping kebahagiaan dalam benang kehidupanmu.
Ya, sebagian kecilnya dan bahkan 'akan hilang' dalam rajutan barumu, Mas.
Terimakasih untuk kasih, kebahagiaan, cinta, sayang, kenangan, pelukan hangat dan senyuman yang sempat tersimpan dalam memoriku.
Kamu pria yang berbeda dan kamu selalu tersimpan disini,Mas.
Dihatiku...
Penulis,
Dian (Nama sebenarnya ada di data penulis Bangku Senja)
Jakarta.
Hanya satu kurangmu, kau tak memiliki "perangko" dalam amplopmu. Malang, mas. Pria sesempurnamu harus tersia-siakan. Aku pun rela untuk dijadikan ampas dalam pilihan hatimu nanti. Sungguh, aku terlalu murah. Ya, aku cinta mas. Cinta.
Arrrgghh...
Mengapa kita harus bersahabat selama tujuh tahun ini? Mengapa Tuhan meletakkanmu dalam posisi yang begitu menyulitkanku? Nyatanya selama ini pun aku ternyata hanya di anggap "adik kecil yang bisa kau mainkan sesukamu" ya kan,Mas?
Kau tak memiliki perasaan yang sama sepertiku, kau tak mencintaiku, kau tak menyayangiku, kau tak pedulikanku, kau..aarrgghh!!!
Aku yang bodoh,Mas. Maaf, aku yang terlalu mengartikan pelukanmu sebagai pelukan tulus. Maaf,Mas. Aku salah. Bukan aku wanita itu. Akan baik jika ku akhiri hubungan persahabatan yang terjalin sudah bertahun-tahun ini menjadi sebuah hubungan biasa yang kemudian lama kelamaan akan menjadi hambar dengan sendirinya.
Aku mundur,Mas.
Aku nggak sanggup jika harus menahan rasa ini.
Aku cemburu.
Aku marah.
Aku kesal.
Aku benci.
Aku lelah.
Aku..
Aku...
Aku mencintaimu,Mas...
Bisakah kau geserkan sedikit spion didepanmu untuk melihatku dibelakang, sedikit saja. Aku ingin kau rasakan ini,Mas. Mataku tak pernah bohong untukmu, aku jujur.
Pelukan dan ciuman hangatmu itu tak dapat membohongi perasaanku, jika kau juga sebenarnya menyimpan sedikit butiran hati untukku, dulu. Sekarang, aku tidak bisa merasakannya lagi,Mas. Beda. Ya, mungkin kau sudah menemukan yang tepat.
Jika Tuhan memberikan aku umur sekali lagi, aku tak akan pernah berharap ingin bertemu mu lagi. Tetapi jika Tuhan memberikanku kesempatan untuk merawatmu, melayanimu, mencintaimu seumur hidupmu, aku selalu siap.
Dan, sekali lagi..
Aku tidak berharap itu terjadi.
Kau berhak memilih yang terbaik bagimu.
Aku hanya sekeping kebahagiaan dalam benang kehidupanmu.
Ya, sebagian kecilnya dan bahkan 'akan hilang' dalam rajutan barumu, Mas.
Terimakasih untuk kasih, kebahagiaan, cinta, sayang, kenangan, pelukan hangat dan senyuman yang sempat tersimpan dalam memoriku.
Kamu pria yang berbeda dan kamu selalu tersimpan disini,Mas.
Dihatiku...
Penulis,
Dian (Nama sebenarnya ada di data penulis Bangku Senja)
Jakarta.